Terima kasih banyak sudah memberi kesempatan kepada saya untuk berbagi pengalaman tentang pengalaman saya mendapatkan beasiswa Monbukagakusho sebagai Japanese Studies dan Research Student.
Pertama-tama, perkenalkan nama saya adalah Yusuf Kurniawan, dulu saya sekolah di salah satu SMA swasta di Bandung jurusan bahasa, karena sudah sejak lama saya punya minat khusus di bidang bahasa. Sedihnya, pada waktu itu kebetulan jurusan bahasa angkatan saya adalah yang terakhir di SMA saya. Saya pun pernah mengikuti SNMPTN ke perguruan tinggi negeri seperti UPI dan UNPAD, dengan jurusan pilihan pariwisata dan Sastra Jepang, karena siapa sih yang tidak ingin masuk universitas negeri impian? Namun sayangnya saya dinyatakan tidak lulus SNMPTN, sehingga sempat merasa sedih berkepanjangan.
Setelah mengalami kesedihan yang cukup panjang, saya dan orang tua mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang universitas yang saya dapat masuki, akhirnya saya memutuskan masuk ke sebuah universitas swata di Bandung yaitu Universitas Nasional PASIM, jurusan Sastra Jepang (memang ngebet banget ya masuk jurusan ini).
Universitas ini bisa dibilang Universitas yang tidak besar dan tidak berlokasi di pusat kota, jumlah mahasiswa perangkatannya pun masih sedikit pada saat itu. Namun setelah empat tahun berkuliah di sana, saya dapat simpulkan bahwa salah satu keuntungan masuk universitas yang tidak besar dalam skala jumlah mahasiswa, ialah hampir tidak ada godaan-godaan seperti hang-out sana sini (karena jauh dari tempat hiburan semacam mal, cafe dst), pacaran (karena opsi terbatas), maupun bolos (karena beban kuliahnya sangat tidak membebani, dan hubungan dosen dan mahasiswa cenderung lebih dekat karena jumlah mahasiswa yang tidak banyak), sehingga aktivitas saat kuliah dalam kelas sangat fokus.
Dan lagi, karena hampir tidak adanya godaan-godaan tersebut, untuk mengisi waktu luang saya dan teman-teman sekelas gunakan untuk belajar bahasa Jepang mempersiapkan JLPT dst (atau tidur siang di kosan teman). Karena itulah di waktu luang pula saya lebih banyak berinisiatif untuk bermain ameba pigg (Online Game Jepang dengan avatar yang kita suka, di mana kita bisa chatting dan berteman dengan orang Jepang secara virtual, tentu saja dengan bahasa Jepang).
Bahkan saya pernah chatting dengan teman Jepang virtual saya sampai tengah malam/begadang, saat liburan kuliah. Atau sesekali bertemu dengan teman Jepang saya di Bandung, untuk sekedar makan di warung pinggir jalan atau jajan. Saya tidak punya banyak, hanya satu dua orang, namun saya jaga silaturahmi dengan baik. Karena menurut saya kualitas lebih baik daripada kuantitas.
Ket: Acara fakultas Sastra Jepang PASIM
Jumlah angkatan yang sedikit, belajar jadi lebih fokus
Tingkat dua saya direkomendasikan oleh dosen untuk mengikuti program dari Monbukagakusho, Japanese Study. Tapi berhubung saat itu saya baru N4 dengan berat hati saya menolaknya, karena merasa belum cukup siap. Tingkat tiga selanjutnya saya direkomendasikan kembali tapi sayangnya, gagal mas bro. “Kadang saya bertanya mengapa kegagalan selalu menimpa diri saya? Damn”. Akhirnya di tingkat akhir, bersamaan dengan sibuknya PKL, sibuknya kerja paruh waktu (mengajar di tempat les, interpreter lepas), dan juga bimbingan skripsi, dan juga kelas yang masih tersisa (di tingkat akhir saya ingat tidur hanya empat jam, entah kenapa semua numpuk di tingkat akhir), yang mengagetkan adalah saya dinyatakan lulus untuk mengikuti program Japanese Study melalui proses seleksi Kedutaan Besar Jepang. Tidak lama sebelum keberangkatan saya ke Jepang, saya menerima kabar baik lainnya, dengan kelulusan ujian N2 saya. Mungkin kata-kata ini terlalu manis tapi saya percaya “Kegagalan adalah awal kesuksesan”, entah siapa yang bilang, tapi saya percaya. Satu hal yang bisa saya sampaikan, belajar bahasa Jepang di Indonesia mungkin tidak mudah karena kita tidak tinggal di tempat di mana bahasa tersebut dituturkan sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai satu capaian. Namun banyak cara yang bisa ditempuh untuk mengaplikasikan apa yang kamu sudah pelajari walaupun kita belum menginjakkan kaki di Jepang.
Untuk program Japanese Studies, saya memilih dan berhasil terpilih masuk Hiroshima University, karena saya tipe orang yang tidak suka tempat yang ramai dan penuh distraksi, jadi sengaja tidak memilih universitas yang ada di kota besar, ditambah universitas ini direkomendasikan juga oleh teman orang Jepang saya yang kebetulan orang Hiroshima. Program Japanese Study ini berlangsung selama satu tahun.
Peserta Japanese Studies mewakili negaranya masing-masing
Program Japanese studies adalah program untuk memberi ksempatan untuk membuat pengalaman langsung baik bahasa maupun budaya bagi mahasiswa jurusan bahasa, sastra atau pendidikan bahasa Jepang. Dan program ini ialah non-degree. Implementasi program di setiap universitas untuk Japanese Studies berbeda-beda tergantung Universitasnya di Jepang. Kesempatan belajar di Hiroshima Univerisity melalui program ini tidak hanya memberikan saya kesempatan untuk belajar bahasa dan budaya Jepang, namun saya pun dapat bertemu dan berteman dengan mahasiswa internasional dan belajar berbagai aspek bahasa dan budaya lainnya juga dari mereka. Yang bisa saya pelajari dari pengalaman itu ialah sikap toleransi, bagaimana saya rasanya jadi minoritas. Toleransi dua arah antara mayoritas dan minoritas, dan bagaimana Jepang sangat memikirkan kaum minoritas, dan tidak melulu soal mayoritas. Oia, Hiroshima terkenal dengan Okonomiyaki-nya, dan jangan sebut Hiroshima-yaki ya, karena orang Hiroshima bilang Okonomiyaki yang ori ya dari Hiroshima (Bentuk dan bahannya cukup berbeda dari Okonomiyaki di Osaka/Kyoto). Satu lagi, pada saat itu saya bermasalah dengan berkomunikasi dengan bahasa inggris, bobroknya bukan main, ketika teman-teman sekelas di sana mentok dengan bahasa Jepang mereka dengan mudah swicth ke bahasa inggris dan melanjukan argumen mereka, tidak dengan saya (niat bales dendam nanti pas balik lagi ke Jepang!).
Sepulang dari Jepang saya menyelesaikan semua kewajiban saya di universitas saya di Bandung dan mengikuti wisuda pada akhir tahun 2015 (walau sebagian besar teman seangkatan saya sudah lulus lebih dahulu). Lalu saya bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang tekstil di Bandung selama setahun lebih sebagai staff trading (kebetulan karena ingin mencoba pekerjaan administrasi di luar bahasa Jepang, namun tetap komunikasi banyak dilakukan menggunakan bahasa Jepang).
Setelah pernah bekerja di berbagai bidang, pengajaran, interpretasi, translasi, administrasi, akhirnya saya berkeputusan untuk kembali lagi ke Jepang melanjutkan studi s2, karena di masa depan saya sangat ingin menjadi seorang akademisi dan juga peneliti di bidang linguistik nantinya.
Mulai dari sana saya memutuskan untuk mengikuti seleksi program Research student dari Monbusho. Kali ini Reseach Student (RS) tidak hanya untuk yang berlatarbelakang S1 bahasa/sastra/pendidikan bahasa Jepang, namun juga dari berbagai latar belakang.
Karena saya tidak bisa bekerja sambil mempersiapkan ujian dalam waktu yang sama, dengan berat hati saya resign dan berhenti dari kantor dua bulan sebelum pembukaan pendaftaran RS. Beresiko? Sangat. Kalau ga lulus gimana? Mau ngapain? Plan B tidak ada. Saya tidak merekomendasikan hal ini, karena tidak sedikit juga yang bisa bekerja sambil mempersipkan segalanya, dan berhasil.
Saya mendaftar ke Hiroshima University lagi karena kebetulan ada profesor yang mau membingbing saya (untuk RS cari profesor sendiri tidak diurus kedubes), dan mendaftar beasiswanya melaui dubes Jepang (lihat websitenya).
Karena prosesnya satu tahun dari awal pendaftaran sampai keberangkatan, saya isi keseharian saya dengan kerja paruh waktu mengajar privat, mengajar di tempat kursus, menjadi penerjemah lepas di perusahaan, dan juga memoles bahasa inggris saya (yang mengkhawatirkan pada saat S1) dengan salah satunya dengan menamatkan novel seri twilight (haha). Setelah melalui segala proses seleksi di bulan januari tahun 2018 saya dinyatakan sebagai salah satu awardee RS dan berangkat di bulan april 2018 ke Hiroshima University, Faculty of Education. Kalian bisa melanjutkan ke studi S2 setelah studi RS ini, dari 6 bulan sampai 2 tahun, panjangnya sesuai dengan ijin dan keinginan pembimbing di Jepang.
Bagi yang ingin melakukan penelitian atau tertarik dengan suatu bidang ilmu tertentu, saya rekomendasikan untuk mengikuti program RS ini, dan yang paling penting jangan takut dengan keterbatasan karena tidak bisa bahasa Jepang, karena program RS ini bisa diikuti dengan sertifikat IELTS dst.
Selama ada di jepang dengan program Research Student, saya tidak bekerja paruh waktu, karena saya merasa dengan beasiswa yang diberikan Monbukagakusho sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan saya dan saya juga ingin fokus dengan penelitian saya (kebetulan juga bukan tinggal di kota besar yang menguras harta).
Saya biasa membuat agenda harian dimana kegiatan sehari-hari saya harus diisi dengan minimal belajar sehari 4 jam. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Sehingga saya tidak bisa melewati hari tanpa blajar (ehem). Hal yang paling membuat saya minder adalah saya merasa tidak bisa bahasa Inggris akibatnya merasa terasingkan jika hanya menguasai bahasa Jepang selamat Japanese Studies tahun 2014/2015 lalu. Dari sana saya mulai belajar bahasa Inggris secara otodidak dan native bahasa Inggris gratis (teman, ehem). Akhirnya ketika saya datang ke Jepang untuk kedua kalinya saya dapat berinteraksi dengan bahasa Jepang maupun Inggris (walaupun masih harus dipoles).
Bahasa Inggris bukan lagi kendala untuk bisa saling memahami siswa lain
Hubungan saya dengan komunitas mahasiswa Indonesia di Jepang (utamanya anak PPI) yg paling berkesan selama ada di jepang adalah, di sana sering membahas hal-hal yang lebih mendalam karena bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa S2 dan S3 di sana. Terutama orang Indonesianya pun memiliki wawasan yang lebih luas dalam berbagai hal, baik itu berkaitan dengan politik, pendidikan, seni, sejarah maupun kondisi Indonesia sekarang.
Jika kalian yang membaca artikel ini ingin ke Jepang, terutama dengan jalur beasiswa, alangkah baiknya mempersiapkannya dari sekarang. Seperti track record IPK selama kuliah dan memaksimalkan kemampuan bahasa asing minimal 1 bahasa, bahasa Jepang atau bahasa Inggris. Karena khususnya untuk Monbukagakusho, jika kalian gagal untuk seleksi tahapan pertama, maka kalian tidak akan bisa mengikuti seleksi tahapan selanjutnya. Selain itu kalian juga harus memikirkan dengan matang kenapa ingin melanjutkan S2. Karena jika ujung-ujungnya kalian kerja di perusahaan Jepang, sebenarnya tidak perlu melanjutkan sekolah lagi, S1 saja sudah cukup. Kecuali jika itu adalah passion-mu.
Pesan dari saya, berdasarkan pengalaman, jika kalian sudah ke Jepang tetaplah rendah hati. Jangan berpikir kamu lebih baik daripada orang lain dengan usaha yang kamu lakukan.
Sekian pengalaman dari saya, semoga bermanfaat!